June 2016

Wednesday, June 29, 2016

Percakapan Ibukota


Malam ini, cuaca kota ini terasa lebih panas dan tak lupa sang pengap selalu siap duduk berdampingan dengannya. Rasanya langit jungkir balik disini karena kerlip yang kulihat bukan saat aku mendongakkan kepalaku melainkan saat aku menundukannya. Selain itu.. bintang-bintang itu sesekali mengeluarkan suara bising dan memiliki konstelasi berundak yang riskan sekali dijelaskan dengan ilmu astronomis dan satu hal lagi, suara-suara itu.. hanya terdengar saat jam tertentu saja, seperti saat manusia penghuni kota ini sedang menuju rumah masing-masing setelah berbuka bersama. Konstelasi ini.. ganjil karena mereka saling berlomba untuk menjadi yang terdekat denganku atau bahkan berusaha melebihiku. Ya apalah aku ini.. hanya gadis yang malu-malu mengintip untuk memperhatikan mereka semua dengan berbekal jendela yang seperempat terbuka dan kursi merah yang tak bisa lagi ku rendahkan ketinggiannya. Ah, itu sedikit menggangguku, membuatku harus membungkuk dalam aktu yang lama, dalam waktu hingga alam sadarku kembali menapaki tanah tempat aku duduk termanggu kali ini.

Apabila kalian membayangkan aku berada di kubikel yang berukuran 1x1 m dengan komputer masih menebar sinarnya melalui layar monitor 14”, kalian salah karena semua ruangan di gedung ini bersekatkan kaca yang bisa memberi cukup privasi terlebih karena saat ada mata yang ingin mengamati lebih, kaca ini bertugas untuk memburamkan pandangan mata itu, bukan karena kaca yang digunakan memiliki kekuatan supranatural namun karena material pembentuknya adalah butiran kaca semi kasar plus motif spiral aneka ukuran untuk menghalangi pandangan. Dan aku cukup diuntungkan karenanya, terimakasih Gedung bersimbol satu alphabet dengan 3 warna pembentuk.
---

Hai Bahagia silamku, apa kabar? Masih nyaman rupanya menjadi buah halaman dari buku ketiga 365 hariku, ralat dua buku 365-ku dan satu buku 366-ku. Masih di zona yang sama rupanya, walau sesekali menggesek zonaku hingga sesekali zona kita bisa dikatakan.. serupa diagram Venn.
Dan apakabar kota metropolitan? Apakabar kota penghenti kata ‘kita’untuk aku dan kamu, yap tentu kamu paham benar mengapa aku berujar demikian? Tenang saja.. kali ini hippokampusku menolak untuk diwawancara mengenai kenangan itu, jadi mari kita cari bahasan lain.

Lucu.. apa lagi-lagi ini hanya kebetulan yang dengan sengaja Tuhan cipatakan untuk hambanya? Karena lagi-lagi zona kita beririsan. Ini bukan tentang zona proyeksi yang diajarkan oleh Bu Dina, bahwa aku dan kamu berada di Zona UTM 48 Selatan. Hmm, tapi tunggu hal itu bisa dijadikan salah satu pembenaaran untuk sekarang karena aku dan kamu lagi-lagi berada di kota yang sama. Kota yang selalu berdegup setiap detiknya,, baik berdegup sendirian atau mengajak manusia-manusia yang tinggal didalamnya untuk berdegup bersama dan kamu tahu? Aku salah satu manusia yang ikut diajaknya berdegup saat tatapan sebegitu-tulus- itu mengamatiku sembari tersenyum, dulu aku sering melihat ‘paket komplit’  itu darimu bukan? Iya.. dulu sebelum angka 5 menjadi angka 6. Terkadang aku merindu, kau tahu? Tapi rasanya salah jika aku ucapkan..namun, untuk memendam itu sudah jadi urusan aku dan batinku bukan? Tak ada pihak yang bisa melarangku dan mendikteku jika hatiku masih keukeuh enggan berpaling bukan? Walau sakit itu nyata, tapi selalu nyata pula apabila mereka dapat menyentuh kemungkinan-kemungkinan untuk pulih. Namun.. bairkan itu menjadi urusan aku dan hatiku nanti.
---

Malam itu.. kamu membuatku paranoid mati-matian dan kamu harus tahu itu! Sangat-harus-tahu-itu. Saat dimana aku harus berjalan fokus dan berdamai dengan jam di lengan kiriku yang dengan acuhnya menampilkan 11 dan 12 tanpa peduli bahwa aku sepanik itu meangkah tanpa teman. Dan saat langkahmu mulai mengimbangiku, tahukah kamu apa yang tanganku lakukan? Menjaga barang kepemilikanku dan yang lainnya merogoh kantung depan tempat pisau lipatku tersimpan dengan rapi, hingga suara itu membuat leherku berputar 90 derajat bahkan kurang dari satu hitungan. Sampai rasanya aku nyaris memutuskan leherku sendiri.  Dan selebihnya biar aku saja yang tahu, kamu sangat tidak diizinkan untuk mengetahuinya. Tidak ada penawaran, ini sudah mencapai titik.

Terkadang aku merasa bodoh karena sepilu apapun itu, masih ada bagian yang bisa teralihkan hanya dengan wangi semu kamu yang tiba-tiba semerbak mengikatku dalam kamu, namun.. hati ini belum mau menyentuh kemungkinan terikat lagi, atau bahkan menolak. Aku tak tahu dimana probablitas terbesar yang ku ciduk. Namun.. pedihnya tanya yang tak bisa terjawab selalu membuat rasa ini menjadi rasa semusim yang ku pikir hanya berniat berkunjung.

Apa yang ditunggu dan hingga kapan begini? Bukankah tidak bijak jika menunggu selamanya..


P.S: "and if you were not visiting this city, what would we be? I mean what would you and I be.."

(Kompilasi ringan tentang hati, kamu,aku, dan mereka yang bisa dibilang lain-lain)