Ilusi Tak Berujung
(kamu bermetamorfosa menjadi ilusi, sejak kapan?) |
Dentingku tak senyaring dulu, selalu saja ada nada sumbang yang mengitarinya. aku sudah berusaha menutupinya. tapi dia, tampak begitu saja, ingin sekali aku hapus dan tunjukan dentingku yang dulu. denting dimana semua terasa dan akan selalu indah. bukan denting yang membuatku saja malas mendengarnya. kali ini aku mulai termenung. jika sekarang aku berjalan mungkin aku tertatih . mengapa? karena implusku semakin lama, semakin memburuk tak ada lagi elektron yang mau diterimanya. hanya ingin tertidur dan berkata semua akan kembali, aku hanya butuh waktu untuk pulih. tapi tetap saja tanpa impulsku semua terasa buyar, semua tak terkendali dan aku rapuh.
pandanganku tak pernah menjadi jelas setelah itu, gelap, suram dan membutakan. atmosferku selalu saja sendu dan sunyi tidak ada lagi garis tawa atau sunggingan kecil. kamu seperti pelangi, tidak pernah bisa diduga datangnya dan muncul hanya untuk sesaat. seperti ilusi! terlalu menjemukan tapi membuaiku. Berilusilah terus agar aku bisa tetap berpijak, berpijak dalam angan tentangmu.
Bodoh! kamu bodoh, kamu pikir hanya dia sang kuas yang bisa warnai kanvasmu? hei lihat! banyak kuas lain yang berderet menunggumu. kamu pikir aku tidak mau? akupun ingin membiarkan kanvasku mulai terisi dengan yang lain. tapi tidak bisa.. ada warna yang hanya dimilikinya, warna yang buat kanvasku tersenyum, meski kini.. perlahan warnanya memudar dan aku nanar..
Tahukah kamu? aku ingin melangkah mundur, andai saja menghapus rasa ini seperti ombak menghapus untaianku dipasir. Tak bersisa.. mungkin sudah kulakukan. Tapi tak seperti itu, takan seperti itu.. karena menghapus ceritamu berarti menghapus sebagianku.
kini, tatapanku sudah lain. hatiku membiru. karena setiap kali ilusimu muncul saat itupun aku goyah, terjatuh tak bergaul dengan duniaku. semua terasa sesak dan panas. sesering apapun aku berjanji untuk meninggikan bentengku, selalu ada celah yang membuat bentengku rubuh. aku lelah terus berharap, tanpa tahu apa yang sebenarnya kuhrapkan. bergantung pada bayang semu tentang kembalinya bulan pada sang punuk yang selalu menantinya. Bahkan malampun tahu.. bahwan bulan takan pernah menatapnya.
aku seperti bayang, bisa menyentuhmu tapi tak bermasa, karena dengan seketika akseptormu mengusirku mundur. aku menari tanpa musik, aku menulis tanpa judul, aku melukis tanpa kanvas. semua.. semua terasa seperti itu. kurang, hilang dan tanpanya aku bukan apa-apa.
ingin berhenti berharap dan mulai berhenti mengetuk pintu fanamu. lalu, melangkah mundur dengan senyum ternaif agar semua terasa seharusnya. memulai membangun kanvasku tanpa bantuan kuas lain. membuat kuasku sendiri tanpa semua absurd paradiso yang kau tawarkan.
ingin sekali membuat semuanya menjadi abu, dan biarkannya tersentuh angin hingga lenyap dan semua aroma getirku beradu dengan sang waktu. lahirkan masa terbaruku tanpa luka sedikitpun. Hipokrit! ya itulah aku.
untuk duniaku: sepertinya kamu terlalu naif untuk mengaku kamu tegar, karena yang aku rasa kamu bahkan teramat lemah hingga untuk menghancurkanmu adalah hal termudah yang bisa kulakukan. hilangkan saja jejaknya hingga kamu tak bisa menerrka lagi. setelah itu duniamu ambruk dan kamu adalah abu busuk yang bukan apa-apalagi. terima saja masamu sudah habis, atau bahkan tak pernah ada masa yang dia hadirkan untukmu. kamu hanya persimpangan yang harus dia lalui untuk mengikat dan mendepakmu secara bersamaan. mengusik hidupmu dan membuatmu terlena lalu pergi tanpa jejak tanpa sebab yang jelas. sudahlah untuk apa kamu mengemis hal yang tak pernah seutuhnya menjadi milikmu. sadari saja tak pernah ada minyak yang bisa bergaul dengan air. meski ada titik titrasi yang menyatukannya itu hanya sesaat dan lenyap di akhir reaksi. itulah arti hadirmu pada dirinya! Pergi dan cari duniamu, jadilah penggantungan bukan yang menggantungkan.
untuk apa kamu mengharap warnanya akan kembali dan kembali warnaimu? untuk menyadarkanmu bahwa usahamu tak sia-sia? apakah bisa dan sampai kapan kamu akan menunggu? Duniamu bukan hanya tentang kaum adam yang berlaku sesukanya. Karena dimasa depan kelak, tak ada lelaki yang mencari wanita cantik tapi tak berotak. lelaki sukses akan menetapkan pilihannya pada wanita pintar. jadi sekarang? masihkah kamu berharap?
Tapi aku tahu, ini bukan hanya tentang berpikir ilmiah dan rasional. tapi hatikulah yang memilih. bahkan setelah aku tahu bukan memilihlah yang benar tapi dipilih. aku masih berusaha menerjang dunia tak berujung darinya, mendenting tanpa henti dan mencoba menatap. Bukannya aku takut akan kehilangannya. tapi aku takut, kehilangan aku yang sebenarnya.
jangan menyalahkan waktu atau keadaan. kamu saja yang menolak, menolak dibangunkan oleh sang pagi, disialaui oleh sang cahaya, karena kamu enggan. enggan tersadar dan ingin selalu terbuai dalam mimpi yang tak pernah membawamu pada akhir. kamu pelihara sendumu, kamu tak pernah mengusik dirimu. kamu hanya menjadikannya sorot utama. tanpa pedulikan sekitar yang mengemis sorot matamu. jangan jaga jarakmu. jagalah dirimu, lindungilah dirimu dari apa yang disebut buaian. jangan deskripsikan dirimu tegar, jika untuk kehilangan saja kamu takut. harusnya kamu bersyukur. kini kamu bisa menatap ilusinya yang tak berujung. jangan coba lari tapi buktikan! dengan ini kamu menjadi seorang hawa yang bisa kikis lukamu tanpa ada tetesan yang bercumbu dengan tanah.
jangan salahkan dia karena telah masuk, karena kamulah yang mempersilahkannya dan kamu yang membuatmu begitu mengkhawatirkan. ingat duniamu akan terasa sempurna saat kamu melukisnya dengan desiran hatimu. menyodorkan hal real, buat kanvasmu tumbuh dengan harga yang sepantasnya.