2016

Friday, September 2, 2016

Diorama Ruang Lara



Degup ini melambat, badan ini melemah, suhu ini meningkat, dan hati ini merana. Nyatanya arahku belum juga menjauhi gundah dan lalu kapan aku menyapa ikhlas? Ruang ini terlalu lapang untuk aku singgahi sendiri, terlalu luas untuk ku lukis dengan tinta terbatas yang masih mampu ku genggam kuat saat memutuskan pergi. Warna yang tersisa bahkan hanya hitam dan putih, walaupun serupa benar dan salah, namun masih dapat ku tuang dalam satu palet bersamaan dan lahirlah abu sang ragu.
Tangga nada terus berganti dari kotak musik digital yang diprakarsai oleh si-kotak-merah-dan-aksesoris-segitiga-putih-dirahimnya, ruang bersekat ini bahkan bersekongkol seolah-olah digemakannya semua nada itu untuk mendepakku dari apa yang aku sebut topeng kehidupan. Harus bagaimana memang? Rasanya naïf adalah hal yang benar ketika dikasihani adalah pilihan lain diantaranya dan keramaian adalah tempat pelarian paling sempurna untuk mereka yang naïf.

...
Saat itu, saat langkah pertamaku berlalu dan menghilangkanmu dari pandangan, saat itulah semua kata kehilangan arah, hilang tanpa makna, hilang tenggelam bersama temaram senja. Sayangnya senjaku dibalut oleh hujan rintik-rintik.. sehingga semburat oranyenya terbalut pula oleh awan hitam yang berkabung akan aku.
Hujan, bolehkah aku bertanya akan kamu? Bertanya tentang semua kamuflase yang kau bentuk untuk berduka untukku, semua bulir hujan yang membasuh getir dalam inderaku. Mengapa senang bercengkrama dalam senduku, seolah-olah kau berirama dalam diam untuk merengkuh ruang laraku. Terkadang, ruang ini semakin fana untuk terus disinggahi, semakin maya sekat diantaranya. Bukankah harusnya aku bersenang hati akan kefanaan yang terlahir? Namun ada apa dengan ruang hati dan lara ini? Mengapa senang sekali berirama, seolah berdendang adalah satu-satunya pemuasmu..
Sedangkan,
Dara ini mengaduh dalam gaduh, mengeluh tanpa kawan, berteriak dalam aliran pena, berlari dengan kaki bergeming, hanya untuk mengendus ruang tak bersekat yang hakiki.
...

Saat langkah pertamamu berlalu, saat itulah tubuh kita tak lagi searah.. nampaknya sudah ada persimpangan yang melambaikan tangan bukan? Saatnya berlalu bersama-sama, meraup benih kehidupan untuk diri sendiri dan menjadi baik untuk diri di masa depan. Selamat untuk kamu, akhirnya semua perjuangan akan satu yang lain menapaki titiknya, membuncahkan jawabannya, menuai hasilnya bahwa aku-dan-kamu teramat sulit untuk saling menggenggam-untuk saling berdampingan. Bukankah sekarang waktunya kamu dan aku menerima ini semua? Sudah habis rasanya upayaku untuk tetap bergelung dalam fana, sudah waktunya untuk bangun bukan? Rasanya semua lara ini terhunus, hingga bisa saja mereka pecahkan syaraf sadarku.. namun apa dayaku selain mulai bersua dengan damai dan mulai menapaki kehidupan dengan apa adanya untuk berjalan sendiri.
Andai kamu menemukan aku dalam tulisanku dan bersedia sedikit saja menyelaminya, maka akan kamu dapati bahwa aku telah memaksakan titik equiblirium terbentuk antara kamu dan aku. Terlalu banyak potensi koagulasi didalamnya hingga seberapa banyakpun koloid pelindung yang aku susupkan didalamnya tak pernah membuahkan equiblirium itu sendiri. Rasanya memang aku sudah benar-benar dalam koma terakhirku untuk apa yang kau sebut satu dan yang kusebut titik akhir.
Untukmu,
Terima kasih sudah sudi mampir dalam kompilasi hari pemilik hati ringkih ini. Terima kasih telah memberi tahu aku atas kepemilikan sebongkah hati ini, walau penyadaran akan hal itu datang tepat ketika hati ini kau buat berkeping-keping. Berjanjilah untuk tetap menjadi peneduh lara dan penghangat sendu, walau objekmu tak lagi aku dan kata ganti aku dan kamu tak pernah lagi menjadi kita. Selamat berpetualang wahai kamu pemilik sebagian-aku. Semoga waktu cepat mengembalikan sebagian-aku pada diriku.

Wednesday, June 29, 2016

Percakapan Ibukota


Malam ini, cuaca kota ini terasa lebih panas dan tak lupa sang pengap selalu siap duduk berdampingan dengannya. Rasanya langit jungkir balik disini karena kerlip yang kulihat bukan saat aku mendongakkan kepalaku melainkan saat aku menundukannya. Selain itu.. bintang-bintang itu sesekali mengeluarkan suara bising dan memiliki konstelasi berundak yang riskan sekali dijelaskan dengan ilmu astronomis dan satu hal lagi, suara-suara itu.. hanya terdengar saat jam tertentu saja, seperti saat manusia penghuni kota ini sedang menuju rumah masing-masing setelah berbuka bersama. Konstelasi ini.. ganjil karena mereka saling berlomba untuk menjadi yang terdekat denganku atau bahkan berusaha melebihiku. Ya apalah aku ini.. hanya gadis yang malu-malu mengintip untuk memperhatikan mereka semua dengan berbekal jendela yang seperempat terbuka dan kursi merah yang tak bisa lagi ku rendahkan ketinggiannya. Ah, itu sedikit menggangguku, membuatku harus membungkuk dalam aktu yang lama, dalam waktu hingga alam sadarku kembali menapaki tanah tempat aku duduk termanggu kali ini.

Apabila kalian membayangkan aku berada di kubikel yang berukuran 1x1 m dengan komputer masih menebar sinarnya melalui layar monitor 14”, kalian salah karena semua ruangan di gedung ini bersekatkan kaca yang bisa memberi cukup privasi terlebih karena saat ada mata yang ingin mengamati lebih, kaca ini bertugas untuk memburamkan pandangan mata itu, bukan karena kaca yang digunakan memiliki kekuatan supranatural namun karena material pembentuknya adalah butiran kaca semi kasar plus motif spiral aneka ukuran untuk menghalangi pandangan. Dan aku cukup diuntungkan karenanya, terimakasih Gedung bersimbol satu alphabet dengan 3 warna pembentuk.
---

Hai Bahagia silamku, apa kabar? Masih nyaman rupanya menjadi buah halaman dari buku ketiga 365 hariku, ralat dua buku 365-ku dan satu buku 366-ku. Masih di zona yang sama rupanya, walau sesekali menggesek zonaku hingga sesekali zona kita bisa dikatakan.. serupa diagram Venn.
Dan apakabar kota metropolitan? Apakabar kota penghenti kata ‘kita’untuk aku dan kamu, yap tentu kamu paham benar mengapa aku berujar demikian? Tenang saja.. kali ini hippokampusku menolak untuk diwawancara mengenai kenangan itu, jadi mari kita cari bahasan lain.

Lucu.. apa lagi-lagi ini hanya kebetulan yang dengan sengaja Tuhan cipatakan untuk hambanya? Karena lagi-lagi zona kita beririsan. Ini bukan tentang zona proyeksi yang diajarkan oleh Bu Dina, bahwa aku dan kamu berada di Zona UTM 48 Selatan. Hmm, tapi tunggu hal itu bisa dijadikan salah satu pembenaaran untuk sekarang karena aku dan kamu lagi-lagi berada di kota yang sama. Kota yang selalu berdegup setiap detiknya,, baik berdegup sendirian atau mengajak manusia-manusia yang tinggal didalamnya untuk berdegup bersama dan kamu tahu? Aku salah satu manusia yang ikut diajaknya berdegup saat tatapan sebegitu-tulus- itu mengamatiku sembari tersenyum, dulu aku sering melihat ‘paket komplit’  itu darimu bukan? Iya.. dulu sebelum angka 5 menjadi angka 6. Terkadang aku merindu, kau tahu? Tapi rasanya salah jika aku ucapkan..namun, untuk memendam itu sudah jadi urusan aku dan batinku bukan? Tak ada pihak yang bisa melarangku dan mendikteku jika hatiku masih keukeuh enggan berpaling bukan? Walau sakit itu nyata, tapi selalu nyata pula apabila mereka dapat menyentuh kemungkinan-kemungkinan untuk pulih. Namun.. bairkan itu menjadi urusan aku dan hatiku nanti.
---

Malam itu.. kamu membuatku paranoid mati-matian dan kamu harus tahu itu! Sangat-harus-tahu-itu. Saat dimana aku harus berjalan fokus dan berdamai dengan jam di lengan kiriku yang dengan acuhnya menampilkan 11 dan 12 tanpa peduli bahwa aku sepanik itu meangkah tanpa teman. Dan saat langkahmu mulai mengimbangiku, tahukah kamu apa yang tanganku lakukan? Menjaga barang kepemilikanku dan yang lainnya merogoh kantung depan tempat pisau lipatku tersimpan dengan rapi, hingga suara itu membuat leherku berputar 90 derajat bahkan kurang dari satu hitungan. Sampai rasanya aku nyaris memutuskan leherku sendiri.  Dan selebihnya biar aku saja yang tahu, kamu sangat tidak diizinkan untuk mengetahuinya. Tidak ada penawaran, ini sudah mencapai titik.

Terkadang aku merasa bodoh karena sepilu apapun itu, masih ada bagian yang bisa teralihkan hanya dengan wangi semu kamu yang tiba-tiba semerbak mengikatku dalam kamu, namun.. hati ini belum mau menyentuh kemungkinan terikat lagi, atau bahkan menolak. Aku tak tahu dimana probablitas terbesar yang ku ciduk. Namun.. pedihnya tanya yang tak bisa terjawab selalu membuat rasa ini menjadi rasa semusim yang ku pikir hanya berniat berkunjung.

Apa yang ditunggu dan hingga kapan begini? Bukankah tidak bijak jika menunggu selamanya..


P.S: "and if you were not visiting this city, what would we be? I mean what would you and I be.."

(Kompilasi ringan tentang hati, kamu,aku, dan mereka yang bisa dibilang lain-lain)



Tuesday, May 24, 2016

Terpaksa Berdamai (kembali)




Teruntuk yang kukira (pernah) singgah 3 tahun yang lalu,
Ku kira kau telah terurai dengan sempurna oleh para racun yang dengan kerasnya berjuang menghancurkanmu dari-sebagian-aku yang hidup ini, nyatanya mereka tak cukup kuat untuk membuatmu berdegradasi menjadi nol,  atau terlebih menghilang, lenyap, terkubur bersama mereka yang terbuang.
Selamat berjumpa lagi.. di tahun ketiga setelah pertemuan kita yang pertama, ternyata masih saja sama.. tidakkah itu membuat peluhmu berguguran? Bisakah berhenti? Berhenti mengoyak tubuh wanita penulis entry ini. Aku lelah, harus bergulat lagi dengan para senyawa yang membuat pangkreasku merintih dan mengerang kesakitan akibat terlalu bayak bekerja.
Ku kira.. aku telah rampung menobatkanmu menjadi mereka yang terbuang, namun nyatanya kau masih menjadi arsip hidup yang bisa terbuka sesuka hati. Kau masih nyata, tersimpan dengan rapi, dan melekat pada hippocomusku.
Diagnosa itu.. membuat aku gagal paham dengan kodratku. Nampaknya, detik ini aku harus mulai berdamai kembali dan mungkin mulai kembali berjuang. Beruntungnya, aku sudah paham bagaimana menjadi tangguh sebelumnya dan kurasa aku masih ingat bagaimana caranya.
Melankolis sekali makhluk ciptaanMu ini, maaf..
Ku pastikan durasinya akan ku perpersempit, sehingga Engkau tak perlu khawatir akan aku.

Tuesday, May 10, 2016

Senandung Sang Borealis


Detik ini, rintik hujan menemaniku dengan tekunnya. Tak sepatah katapun ia mengeluhkan keheningan yang aku ciptakan dengan megahnya. Setidaknya hanya aku yang sunyi.. masih ada lantunan angin yang memberi kehangatan saat Bulan terdiam termanggu memerhatikan aku yang meredup. Memangnya aku ini dia? Bisa dengan seenaknya menyerap cahaya Sang Mentari dan berlagak bak aku bergelimbang tawa? Entahlah.. rasanya memudar lebih menenangkan aku kali ini.

Perkenalkan, aku Aurora, yap dia si penghasil pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer dari sebuah planet, sebut saja Bumi sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetic yang dimiliki planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Sang Mentari. Dahulu, ada masanya ketika aku sangat mengagumkan, bahkan memabukan. Hingga aku tersapa masa dimana tak ada lagi partikel mentari yang sudi mampir pada medan magnet ionosferku. Disitulah aku berada sekarang.

Dahulu, mentari menjadi satu-satunya tempat aku bersandar. Walau aku ini kaum minoritas yang nyata adanya sesekali, jauh dari ibu kota bahkan aku tidak pernah tahu hiruk pikuknya. Sunyi seolah menjadi candu bagiku, hingga untuk meraihku.. mereka harus bersulit dahulu menerjang dinginku. Bukan merasa eksklusif dan tak mau dijangkau.. tapi rasanya kutub lebih menenangkan.
Sering sekali aku berlagak seolah tak ada mata yang memerhatikanku, sering sekali menghindar menyala walau ku tahu pasti mereka menantiku berlagak dan mempertaruhkan hidup matinya. Bagaimana tidak? aku bisa membuat mereka hipotermia dalam 5 menit jika sesaat saja mereka ceroboh. Namun saat aku mulai murka akan keberadaan mereka.. mentari menghangatkan ionosferku dengan partikel-partikelnya. Dia beri apa yang mereka mau karenaku, aku menyala, berkelap-kelip, dan memabukan. Tapi ketahuilah.. dialah yang membuatku candu.
Entah ini familiar di telingamu atau tidak, walau mentari bukanlah Polaris yang sesungguhnya. Tapi untukku dialah Polarisku, Bintang yang selalu berdiri tegak dengan gagahnya dan setia berlagak ditempat yang sama, dimanapun aku berada, dia tak pernah membiarkanku buta arah. Dia polarisku yang selalu berlagak di Utara.

Rasanya dia selalu berputar mengelilingiku, apakah aku sebenarnya yang berotasi? Hanya dia yang membuat medan magnet ini meresponnya dengan susunan yang berbeda,ku kira kami memang diciptakan untuk saling menyempurnakan dan membuat mereka kagum akan keindahan Tuhan. Aku merona kemerahan setiap kali plasma-plasmanya menyapa medan magnetikku, setiap kali proton dan electron dengan energy tinggi berjumpalitan dan saling bertegur sapa dengan partikel atmosfer Bumiku. Dialah Polarisku dan akulah Borealisnya.

Walau dia hanya menyapaku saat titik mataharinya mencapai maksimum, walaupun aku harus meneguk kesendirian ini setiap 11 tahun, tak sekalipun aku jenuh menanti saat titiknya mencapai maksimum dan rasanya aku siap berlagak memamerkan warnaku hingga partikelku memudar dan habis.. atau bahkan hingga aku punah. Iya aku bodoh.. memang. Tapi setulus itulah penantianku akan keberadaannya.

Namun apakah benar adanya dia sang Polaris? Karena saat malam menyapaku tak sekalipun dia berada di sekitarku, apakah orbitnya enggan untuk memasukan aku dalam daftar persinggahannya, bahkan barang sesaat untuk saling bertegur sapa? Atau aku selama ini salah sangka akan penobatan Polarisku?


Dia tak lagi di utara, sedangkan aku masih termenung disini, ini 11 yang ke-dua dan rasanya menunggu orbitmu lebih melelahkan dari biasanya. Apa karena ini sudah bukan tepat 11 tahun baru aku menunggu untuk berkilau? 11 tahun 2 bulan 15 hari dan plasmamu belum juga menciduk medan magnet bumi, panggung aku berlagak. Mengapa?

*Polaris (disebut juga sebagai Bintang Utara) adalah bintang paling terang di rasi Ursa Minor. Meskipun bumi berputar selama 24 jam sehari, Polaris akan selalu ada di tempatnya, karena Polaris berada dekat dengan sumbu bumi. Ia berada nyaris persis di pusat putaran yaitu kutub utara. Oleh karena itu, di India, Polaris disebut dengan Dhuva.
Karena letaknya itu juga, Polaris dianggap oleh nelayan sebagai pusat navigasi. Jika kita ada di Kutub Utara, Polaris akan berada di atas kepala. Jika kita ada di katulistiwa, Polaris akan berada di dekat cakrawala.
Polaris selalu di tempat yang sama sebagaimana bintang lainnya. Tapi dia menjadi istimewa karena cahayanya yang terang dan bisa menjadi rujukan navigasi. Jika tersesat, carilah Polaris bagian dari rasi bintang yang berbentuk beruang. Jika menemukannya, itu adalah Polaris. Itu adalah arah utara. 

To be continued..