Friday, September 2, 2016

Diorama Ruang Lara



Degup ini melambat, badan ini melemah, suhu ini meningkat, dan hati ini merana. Nyatanya arahku belum juga menjauhi gundah dan lalu kapan aku menyapa ikhlas? Ruang ini terlalu lapang untuk aku singgahi sendiri, terlalu luas untuk ku lukis dengan tinta terbatas yang masih mampu ku genggam kuat saat memutuskan pergi. Warna yang tersisa bahkan hanya hitam dan putih, walaupun serupa benar dan salah, namun masih dapat ku tuang dalam satu palet bersamaan dan lahirlah abu sang ragu.
Tangga nada terus berganti dari kotak musik digital yang diprakarsai oleh si-kotak-merah-dan-aksesoris-segitiga-putih-dirahimnya, ruang bersekat ini bahkan bersekongkol seolah-olah digemakannya semua nada itu untuk mendepakku dari apa yang aku sebut topeng kehidupan. Harus bagaimana memang? Rasanya naïf adalah hal yang benar ketika dikasihani adalah pilihan lain diantaranya dan keramaian adalah tempat pelarian paling sempurna untuk mereka yang naïf.

...
Saat itu, saat langkah pertamaku berlalu dan menghilangkanmu dari pandangan, saat itulah semua kata kehilangan arah, hilang tanpa makna, hilang tenggelam bersama temaram senja. Sayangnya senjaku dibalut oleh hujan rintik-rintik.. sehingga semburat oranyenya terbalut pula oleh awan hitam yang berkabung akan aku.
Hujan, bolehkah aku bertanya akan kamu? Bertanya tentang semua kamuflase yang kau bentuk untuk berduka untukku, semua bulir hujan yang membasuh getir dalam inderaku. Mengapa senang bercengkrama dalam senduku, seolah-olah kau berirama dalam diam untuk merengkuh ruang laraku. Terkadang, ruang ini semakin fana untuk terus disinggahi, semakin maya sekat diantaranya. Bukankah harusnya aku bersenang hati akan kefanaan yang terlahir? Namun ada apa dengan ruang hati dan lara ini? Mengapa senang sekali berirama, seolah berdendang adalah satu-satunya pemuasmu..
Sedangkan,
Dara ini mengaduh dalam gaduh, mengeluh tanpa kawan, berteriak dalam aliran pena, berlari dengan kaki bergeming, hanya untuk mengendus ruang tak bersekat yang hakiki.
...

Saat langkah pertamamu berlalu, saat itulah tubuh kita tak lagi searah.. nampaknya sudah ada persimpangan yang melambaikan tangan bukan? Saatnya berlalu bersama-sama, meraup benih kehidupan untuk diri sendiri dan menjadi baik untuk diri di masa depan. Selamat untuk kamu, akhirnya semua perjuangan akan satu yang lain menapaki titiknya, membuncahkan jawabannya, menuai hasilnya bahwa aku-dan-kamu teramat sulit untuk saling menggenggam-untuk saling berdampingan. Bukankah sekarang waktunya kamu dan aku menerima ini semua? Sudah habis rasanya upayaku untuk tetap bergelung dalam fana, sudah waktunya untuk bangun bukan? Rasanya semua lara ini terhunus, hingga bisa saja mereka pecahkan syaraf sadarku.. namun apa dayaku selain mulai bersua dengan damai dan mulai menapaki kehidupan dengan apa adanya untuk berjalan sendiri.
Andai kamu menemukan aku dalam tulisanku dan bersedia sedikit saja menyelaminya, maka akan kamu dapati bahwa aku telah memaksakan titik equiblirium terbentuk antara kamu dan aku. Terlalu banyak potensi koagulasi didalamnya hingga seberapa banyakpun koloid pelindung yang aku susupkan didalamnya tak pernah membuahkan equiblirium itu sendiri. Rasanya memang aku sudah benar-benar dalam koma terakhirku untuk apa yang kau sebut satu dan yang kusebut titik akhir.
Untukmu,
Terima kasih sudah sudi mampir dalam kompilasi hari pemilik hati ringkih ini. Terima kasih telah memberi tahu aku atas kepemilikan sebongkah hati ini, walau penyadaran akan hal itu datang tepat ketika hati ini kau buat berkeping-keping. Berjanjilah untuk tetap menjadi peneduh lara dan penghangat sendu, walau objekmu tak lagi aku dan kata ganti aku dan kamu tak pernah lagi menjadi kita. Selamat berpetualang wahai kamu pemilik sebagian-aku. Semoga waktu cepat mengembalikan sebagian-aku pada diriku.

Wednesday, June 29, 2016

Percakapan Ibukota


Malam ini, cuaca kota ini terasa lebih panas dan tak lupa sang pengap selalu siap duduk berdampingan dengannya. Rasanya langit jungkir balik disini karena kerlip yang kulihat bukan saat aku mendongakkan kepalaku melainkan saat aku menundukannya. Selain itu.. bintang-bintang itu sesekali mengeluarkan suara bising dan memiliki konstelasi berundak yang riskan sekali dijelaskan dengan ilmu astronomis dan satu hal lagi, suara-suara itu.. hanya terdengar saat jam tertentu saja, seperti saat manusia penghuni kota ini sedang menuju rumah masing-masing setelah berbuka bersama. Konstelasi ini.. ganjil karena mereka saling berlomba untuk menjadi yang terdekat denganku atau bahkan berusaha melebihiku. Ya apalah aku ini.. hanya gadis yang malu-malu mengintip untuk memperhatikan mereka semua dengan berbekal jendela yang seperempat terbuka dan kursi merah yang tak bisa lagi ku rendahkan ketinggiannya. Ah, itu sedikit menggangguku, membuatku harus membungkuk dalam aktu yang lama, dalam waktu hingga alam sadarku kembali menapaki tanah tempat aku duduk termanggu kali ini.

Apabila kalian membayangkan aku berada di kubikel yang berukuran 1x1 m dengan komputer masih menebar sinarnya melalui layar monitor 14”, kalian salah karena semua ruangan di gedung ini bersekatkan kaca yang bisa memberi cukup privasi terlebih karena saat ada mata yang ingin mengamati lebih, kaca ini bertugas untuk memburamkan pandangan mata itu, bukan karena kaca yang digunakan memiliki kekuatan supranatural namun karena material pembentuknya adalah butiran kaca semi kasar plus motif spiral aneka ukuran untuk menghalangi pandangan. Dan aku cukup diuntungkan karenanya, terimakasih Gedung bersimbol satu alphabet dengan 3 warna pembentuk.
---

Hai Bahagia silamku, apa kabar? Masih nyaman rupanya menjadi buah halaman dari buku ketiga 365 hariku, ralat dua buku 365-ku dan satu buku 366-ku. Masih di zona yang sama rupanya, walau sesekali menggesek zonaku hingga sesekali zona kita bisa dikatakan.. serupa diagram Venn.
Dan apakabar kota metropolitan? Apakabar kota penghenti kata ‘kita’untuk aku dan kamu, yap tentu kamu paham benar mengapa aku berujar demikian? Tenang saja.. kali ini hippokampusku menolak untuk diwawancara mengenai kenangan itu, jadi mari kita cari bahasan lain.

Lucu.. apa lagi-lagi ini hanya kebetulan yang dengan sengaja Tuhan cipatakan untuk hambanya? Karena lagi-lagi zona kita beririsan. Ini bukan tentang zona proyeksi yang diajarkan oleh Bu Dina, bahwa aku dan kamu berada di Zona UTM 48 Selatan. Hmm, tapi tunggu hal itu bisa dijadikan salah satu pembenaaran untuk sekarang karena aku dan kamu lagi-lagi berada di kota yang sama. Kota yang selalu berdegup setiap detiknya,, baik berdegup sendirian atau mengajak manusia-manusia yang tinggal didalamnya untuk berdegup bersama dan kamu tahu? Aku salah satu manusia yang ikut diajaknya berdegup saat tatapan sebegitu-tulus- itu mengamatiku sembari tersenyum, dulu aku sering melihat ‘paket komplit’  itu darimu bukan? Iya.. dulu sebelum angka 5 menjadi angka 6. Terkadang aku merindu, kau tahu? Tapi rasanya salah jika aku ucapkan..namun, untuk memendam itu sudah jadi urusan aku dan batinku bukan? Tak ada pihak yang bisa melarangku dan mendikteku jika hatiku masih keukeuh enggan berpaling bukan? Walau sakit itu nyata, tapi selalu nyata pula apabila mereka dapat menyentuh kemungkinan-kemungkinan untuk pulih. Namun.. bairkan itu menjadi urusan aku dan hatiku nanti.
---

Malam itu.. kamu membuatku paranoid mati-matian dan kamu harus tahu itu! Sangat-harus-tahu-itu. Saat dimana aku harus berjalan fokus dan berdamai dengan jam di lengan kiriku yang dengan acuhnya menampilkan 11 dan 12 tanpa peduli bahwa aku sepanik itu meangkah tanpa teman. Dan saat langkahmu mulai mengimbangiku, tahukah kamu apa yang tanganku lakukan? Menjaga barang kepemilikanku dan yang lainnya merogoh kantung depan tempat pisau lipatku tersimpan dengan rapi, hingga suara itu membuat leherku berputar 90 derajat bahkan kurang dari satu hitungan. Sampai rasanya aku nyaris memutuskan leherku sendiri.  Dan selebihnya biar aku saja yang tahu, kamu sangat tidak diizinkan untuk mengetahuinya. Tidak ada penawaran, ini sudah mencapai titik.

Terkadang aku merasa bodoh karena sepilu apapun itu, masih ada bagian yang bisa teralihkan hanya dengan wangi semu kamu yang tiba-tiba semerbak mengikatku dalam kamu, namun.. hati ini belum mau menyentuh kemungkinan terikat lagi, atau bahkan menolak. Aku tak tahu dimana probablitas terbesar yang ku ciduk. Namun.. pedihnya tanya yang tak bisa terjawab selalu membuat rasa ini menjadi rasa semusim yang ku pikir hanya berniat berkunjung.

Apa yang ditunggu dan hingga kapan begini? Bukankah tidak bijak jika menunggu selamanya..


P.S: "and if you were not visiting this city, what would we be? I mean what would you and I be.."

(Kompilasi ringan tentang hati, kamu,aku, dan mereka yang bisa dibilang lain-lain)



Tuesday, May 24, 2016

Terpaksa Berdamai (kembali)




Teruntuk yang kukira (pernah) singgah 3 tahun yang lalu,
Ku kira kau telah terurai dengan sempurna oleh para racun yang dengan kerasnya berjuang menghancurkanmu dari-sebagian-aku yang hidup ini, nyatanya mereka tak cukup kuat untuk membuatmu berdegradasi menjadi nol,  atau terlebih menghilang, lenyap, terkubur bersama mereka yang terbuang.
Selamat berjumpa lagi.. di tahun ketiga setelah pertemuan kita yang pertama, ternyata masih saja sama.. tidakkah itu membuat peluhmu berguguran? Bisakah berhenti? Berhenti mengoyak tubuh wanita penulis entry ini. Aku lelah, harus bergulat lagi dengan para senyawa yang membuat pangkreasku merintih dan mengerang kesakitan akibat terlalu bayak bekerja.
Ku kira.. aku telah rampung menobatkanmu menjadi mereka yang terbuang, namun nyatanya kau masih menjadi arsip hidup yang bisa terbuka sesuka hati. Kau masih nyata, tersimpan dengan rapi, dan melekat pada hippocomusku.
Diagnosa itu.. membuat aku gagal paham dengan kodratku. Nampaknya, detik ini aku harus mulai berdamai kembali dan mungkin mulai kembali berjuang. Beruntungnya, aku sudah paham bagaimana menjadi tangguh sebelumnya dan kurasa aku masih ingat bagaimana caranya.
Melankolis sekali makhluk ciptaanMu ini, maaf..
Ku pastikan durasinya akan ku perpersempit, sehingga Engkau tak perlu khawatir akan aku.

Tuesday, May 10, 2016

Senandung Sang Borealis


Detik ini, rintik hujan menemaniku dengan tekunnya. Tak sepatah katapun ia mengeluhkan keheningan yang aku ciptakan dengan megahnya. Setidaknya hanya aku yang sunyi.. masih ada lantunan angin yang memberi kehangatan saat Bulan terdiam termanggu memerhatikan aku yang meredup. Memangnya aku ini dia? Bisa dengan seenaknya menyerap cahaya Sang Mentari dan berlagak bak aku bergelimbang tawa? Entahlah.. rasanya memudar lebih menenangkan aku kali ini.

Perkenalkan, aku Aurora, yap dia si penghasil pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer dari sebuah planet, sebut saja Bumi sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetic yang dimiliki planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Sang Mentari. Dahulu, ada masanya ketika aku sangat mengagumkan, bahkan memabukan. Hingga aku tersapa masa dimana tak ada lagi partikel mentari yang sudi mampir pada medan magnet ionosferku. Disitulah aku berada sekarang.

Dahulu, mentari menjadi satu-satunya tempat aku bersandar. Walau aku ini kaum minoritas yang nyata adanya sesekali, jauh dari ibu kota bahkan aku tidak pernah tahu hiruk pikuknya. Sunyi seolah menjadi candu bagiku, hingga untuk meraihku.. mereka harus bersulit dahulu menerjang dinginku. Bukan merasa eksklusif dan tak mau dijangkau.. tapi rasanya kutub lebih menenangkan.
Sering sekali aku berlagak seolah tak ada mata yang memerhatikanku, sering sekali menghindar menyala walau ku tahu pasti mereka menantiku berlagak dan mempertaruhkan hidup matinya. Bagaimana tidak? aku bisa membuat mereka hipotermia dalam 5 menit jika sesaat saja mereka ceroboh. Namun saat aku mulai murka akan keberadaan mereka.. mentari menghangatkan ionosferku dengan partikel-partikelnya. Dia beri apa yang mereka mau karenaku, aku menyala, berkelap-kelip, dan memabukan. Tapi ketahuilah.. dialah yang membuatku candu.
Entah ini familiar di telingamu atau tidak, walau mentari bukanlah Polaris yang sesungguhnya. Tapi untukku dialah Polarisku, Bintang yang selalu berdiri tegak dengan gagahnya dan setia berlagak ditempat yang sama, dimanapun aku berada, dia tak pernah membiarkanku buta arah. Dia polarisku yang selalu berlagak di Utara.

Rasanya dia selalu berputar mengelilingiku, apakah aku sebenarnya yang berotasi? Hanya dia yang membuat medan magnet ini meresponnya dengan susunan yang berbeda,ku kira kami memang diciptakan untuk saling menyempurnakan dan membuat mereka kagum akan keindahan Tuhan. Aku merona kemerahan setiap kali plasma-plasmanya menyapa medan magnetikku, setiap kali proton dan electron dengan energy tinggi berjumpalitan dan saling bertegur sapa dengan partikel atmosfer Bumiku. Dialah Polarisku dan akulah Borealisnya.

Walau dia hanya menyapaku saat titik mataharinya mencapai maksimum, walaupun aku harus meneguk kesendirian ini setiap 11 tahun, tak sekalipun aku jenuh menanti saat titiknya mencapai maksimum dan rasanya aku siap berlagak memamerkan warnaku hingga partikelku memudar dan habis.. atau bahkan hingga aku punah. Iya aku bodoh.. memang. Tapi setulus itulah penantianku akan keberadaannya.

Namun apakah benar adanya dia sang Polaris? Karena saat malam menyapaku tak sekalipun dia berada di sekitarku, apakah orbitnya enggan untuk memasukan aku dalam daftar persinggahannya, bahkan barang sesaat untuk saling bertegur sapa? Atau aku selama ini salah sangka akan penobatan Polarisku?


Dia tak lagi di utara, sedangkan aku masih termenung disini, ini 11 yang ke-dua dan rasanya menunggu orbitmu lebih melelahkan dari biasanya. Apa karena ini sudah bukan tepat 11 tahun baru aku menunggu untuk berkilau? 11 tahun 2 bulan 15 hari dan plasmamu belum juga menciduk medan magnet bumi, panggung aku berlagak. Mengapa?

*Polaris (disebut juga sebagai Bintang Utara) adalah bintang paling terang di rasi Ursa Minor. Meskipun bumi berputar selama 24 jam sehari, Polaris akan selalu ada di tempatnya, karena Polaris berada dekat dengan sumbu bumi. Ia berada nyaris persis di pusat putaran yaitu kutub utara. Oleh karena itu, di India, Polaris disebut dengan Dhuva.
Karena letaknya itu juga, Polaris dianggap oleh nelayan sebagai pusat navigasi. Jika kita ada di Kutub Utara, Polaris akan berada di atas kepala. Jika kita ada di katulistiwa, Polaris akan berada di dekat cakrawala.
Polaris selalu di tempat yang sama sebagaimana bintang lainnya. Tapi dia menjadi istimewa karena cahayanya yang terang dan bisa menjadi rujukan navigasi. Jika tersesat, carilah Polaris bagian dari rasi bintang yang berbentuk beruang. Jika menemukannya, itu adalah Polaris. Itu adalah arah utara. 

To be continued.. 

Tuesday, July 21, 2015

Senandung Limitasi


Halo hari ini izinkan aku bercerita boleh kah? Akhir-akhir ini keadaan disekitarku sedang memburuk dan aku selalu merasa lingkungan memperngaruhi diriku, semua memburuk dan diriku akan memburuk pula. Entah mengapa sampai saat ini diri ini belum bisa menjadi seseorang yang independen, menentukan sendiri, dan tidak tergoyahkan oleh lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Tapi tentunya itu akan jadi bahan pelajaran untuk wanita yang sedang mengetik entry terbarunya ini, agar kedepannya bisa menjadi orang yang digantungkan, tidak hanya bisanya Cuma menggantungkan diri.
Boleh aku mulai bercerita? Mengapa diam? Aku anggap diam kalian itu berarti boleh.
Pertama, bolehkah aku bercerita masalah hati? Entah karena hal apa.. aku semakin meragu adanya. Semakin fana saja apa yang diinginkan hati ini. Terkadang rasanya aku tidak tahu harus bagaimana dan apa sebaiknya aku perlahan bergerak mundur? Mengapa harus memudar jika memberikan warna lebih indah adanya? Tapi aku takut terkadang.. apa dengan bertahan semua ini akan membuatku bahagia kelak? Atau lagi-lagi akan disia-siakan? Sebenarnya aku sudah handal dalam menyembuhkan luka, tapi ini, yang aku jalani sekarang, bukanlah hal main-main yang ku jalani dulu. Bukan lagi kesenangan yang menjadi dasar hubungan ini. Aku teramat lelah dengan semua yang telah terjadi silam. Mungkin karena hal itu, aku memasang standar tinggi pada hubungan ini. Tapi yang kutuai hanya penolakan akan standar-standar yang aku pasang sendiri. Dari situ aku belajar, bahwa mengalir lebih baik atau keidealan tidak pernah nyata adanya. Selalu saja ada bagian yang mencoreng keberadaannya bahkan kamu perancang keidealan itu bisa merusaknya.
Lalu apa masalahnya kini? Masalah ku kini adalah.. merasa letih akan meyakini, merasa letih akan berharap. Ketika insan lain terlalu nyaman dengan zonanya sendiri dan menolak untuk mencicipi zona lainnya atau bahkan hanya untuk melirik dan ada insan lain yang mulai letih untuk menyamai langkah si zona insan tersebut. Akulah insan itu, aku mulai lelah mencicipi zona nyamannya. Memang salah jika aku mengharapkan balasan untuk dia melakukan hal yang sama denganku. Hari demi hari terus menyapaku dan sesekali memberikan bingkisan cantik tentang indahnya keseimbangan. Terkadang aku iri, ketika mereka yang lain bercerita tentang tambatan hati. Tentang meraka yang diyakinkan pada hubungan mereka.
Sering sekali saat kesendirian menyapaku, saat hanya ada suara lantunan lagu dari laptopku, angin yang bergurau dengan rerumputan bergemersik ditelinga, dan matahari yang tetap menjaga jarak aman denganku.. aku berpikir, harusnya aku bersyukur dia tidak mempertemukanku dengan mereka. Memang seyakin apa hubungan ini akan berhasil wahai Nona? Melepaaskan jauh lebih mudah kelak jika tanpa kehadiran mereka. Jangan mengikatkan dua hal yang lebih rumit didalamnya, ketika hatimu belum yakin dengan dia sang pendatang yang meminta dirimu berjalan beriringan dengannya.
Jangan anggap dia tidak berusaha membahagiakanku, dia selalu melakukannya, aku selalu bahagia awalnya dan sangat menyukai apapun yang dia lakukan bersamaku. Tetapi apakah dia tahu? Sesuatu yang dilakukan berulang dengan pola yang sama dan jangka waktu yang lama membuat semua tidak terasa seperti bagaimana semula itu terasa. Bukankah aku egois? Hanya memintanya berusaha lebih dan tidak memperbaiki diri? Apa mauku? Pasti sebagian darimu berkata demikian?
Aku berjuang.. sungguh aku berjuang meyakinkan diriku bahwa dia pantas diperjuangkan, memberi stimulus pada diriku bahwa aku mungkin harus bertahan lebih lama, bukankah aku menyayanginya? Bukankah bulan-bulan sebelumnya aku bisa menyembuhkan keletihanku ini sendiri? Mengapa kali ini aku menjadi payah? Bukan.. bukan seperti itu. Tapi apapun yang kulakukan berulang-ulang dengan pola yang samapun akan membuatku kebal karenanya. Oh Tuhan.. maafkan aku atas ini. Mungkin aku butuh waktu. Aku letih memanggu dungu dan menungguinya hingga mengetuk zonaku. Atau harus kuajak dia masuk? Tapi aku mau dia nyaman dengan sendirinya, Tuhan.. apa aku salah jika melakukan ini? Entah rasanya ini seperti cerita roman super berlebihan bukan?
Kedua, rutinitasku banyak sekali yang berubah, sungguh. Aku yang dulu bisa dikatakan apatis dan sedikit masa bodo dengan kehidupan berorganisasi sekarang disentil dengan tanggung jawabku sebagai salah satu hal krusial di acara yang merupakan acara bersejarah bagi masing-masing insan yang akhirnya merampungkan Strata satu mereka. Yap aku tahu kamu paham apa hal itu. Kadang aku letih menganalisis apa yang harus aku lakukan. Meski dengan ini mataku dan pikiranku semakin terbuka, bahwa apa yang kita lihat diluar belum tentu sama di dalam. Semua yang kita lihat pasti atas dasar pemikiran yang memeras otak, hati yang berkali-kali mengucap istigfar,dan asa yang berkali-kali meyakinkan diri bahwa tugas ini bisa dirampungkan. Hal pertama yang terjadi saat pekerjaanku tidak begitu disetujui dan memintaku kembali merubahnya dari awal adalah.. sakit dan rasanya ingin aku memaki. Tapi untuk apa? Tidak akan menyelesaikan masalah bukan? Tapi tetap kulakukan, aku memaki.. memaki diriku sendiri yang tidak cermat dalam pemlihan dan pengerjaan setiap detailnya. Bahkan itu bukan detail itu dasar dimana fondasi akan dipijakan. Dari situlah aku memahami, setiap pekerjaan bukan bertujuan hanya untuk dirampungkan.. tetapi untuk dipahami apa yang kita dapat dari pekerjaan itu kelak. Itulah pembentukan pola pikir himpunanku atau lebih tepatnya ikatanku. Menekanku dengan standar tinggi hingga memaksaku keluar dari limitasiku sendiri, mengapa harus memaksa? Karena itu memakan waktu lebih cepat dan memecut kesadaran dan kepekaanmu lebih dari metode lain. Aku tidak menolak sungguh, aku malah menjadi senang menonton karenanya. Kalian bingung? Iya aku jadi senang menonton semua probabilitas dan hal yang harus dicermati dari setiap detail yang aku ambil. Setiap hal datang untuk memberikanku pelajaran, yang berbeda adalah bagaimana cara mereka memaparkan pelajaran tersebut. Apakah dengan membuatku sakit hingga membekas dikepala atau bermanis-manis agar aku semangat. Menjadi objektif adalah hal  yang ku genggam kali ini, tidak erat-erat tentunnya aku tidak mau ada insan yang tersakiti karena kekukuhanku akan penilaianku, hanya memastikannya tetap ditangan.
Keluhanku kali ini, tidak semua paham hal tersebut, tidak semua memiliki prioritas yang sama, dan terkadang semua membebaniku.. aku terkadang letih memahami semua sendirian, aku letih kebingungan sendirian, dan kadang aku letih meminta bantuan pada mereka-dan-prioritas-berbeda-mereka, hingga aku berpikir apa aku sja yang lahap ini semua? Tapi aku tidak ingin serakah akan ilmu. Jika aku belum mampu memberi hal yang lebih berharga pada mereka, ilmulah yang bisa kita pelajari bersama-sama yang bisa aku berikan.
Aku hanya ingin berusaha semaksimal yang bisa aku lakukan, aku hanya ingin selalu ada saat orang-orang membutuhkan karena hal itu menenangkan. Tapi entah dasar manusia.. aku juga ingin mereka melakukan hal yang sama untukku. Tapi terkdang saat aku menoleh hanya ada udara malam yang menyapa. Rasanya aku harus becermin, mungkin aku tidak benar-benar disana saat mereka butuh, hingga yang kudapatpun mereka tak benar-benar ada saat aku jatuh, karena aku yakin apa yang aku tuai adalah apa yang aku tanam dimasa silam.

Ketiga, rasanya kami semakin menjauh.. iya aku dan satu insan Tuhan dengan hubungan darah antara kami. Dia semakin menolak didekati dan aku semakin lama semakin menolak memahami. Entah, rasanya semakin asing.. semakin memudar. Bukankah hal itu tidak boleh terjadi? Tapi entahlah..

Rasanya senandung limitasiku sedang mencapai puncak kekuasaan atas insan ini.. ya atas diriku. Dan aku sedang tidak berminat memperbaiki keadaan. Bolehkah aku mengomandokan hal ini pada lingkungan sekitar? Agar dia mengembalikan semua ini dan mengizinkan aku pulang.. aku ingin pulang dan disambut oleh matahari yang berpamitan pulang untuk menemui lautan. Berpamitan dengan si jingga, lalu seruan menggoda tanpa suara dari hot dark-chocolate. Si pahit dan  manis yang dengan adilnya membagi peran kemunculan, seperti hidup yang terkadang pahit dan manis. Lalu yang terakhir keanggunan kelembutan kapas yang bersama-sama menghilangkan rasa sakit saat bagian pelindung tulang ekor ini menolak berdiri lama-lama dan ingin bergerlung bersamanya.

Izinkan aku menyapa zona tempatku bergerlung hei kamu senandung-limitasi.



Sunday, July 12, 2015

Nona,Aku Sangat Ringkih untuk Itu


Pada dasarnya tidak ada bunga yang menolak untuk disirami.
Pada dasarnya tidak ada bunga yang menolak untuk dibudidayakan.
Pada dasarnya tidak ada bunga yang menolak untuk dirawat degan tangan-tangan dingin para petani handal.
Pada dasarnya tidak ada bunga yang menolak untuk dipetik bila ditujukan untuk kebahagian insan lain.
Semua elemen ideal adalah sebuah padanan yang dinilai sempurna keberadaannya hingga menghilangkan fokus akan kuantitas dan rutinitas.

Ada bagian yang tidak dapat dibahagiakan hanya dengan idealisasi yang mereka nilai sempurna adanya.
Ada bagian yang harus selalu diperbaharui dosisnya untuk menjaga keberlangsungan hidupnya.
 Ada bagian yang terkadang harus merasakan getir untuk mengingat arti bahagia.
Ada bagian..yang menolak tatanan ideal. Ada.
Pada detik ini, bagian itu terasa semakin ringkih, semakin mudah tersapu oleh hanyutan buaian mereka yang tidak berkeyakinan, semakin gamang adanya akibat surat fana dari zona nyaman tempatnya selalu bergelung dan menghisap syahdu kebahagiaan. Itu candu, candu yang kadarnya dapat diatur sesuai kebutuhan dan tidak meninggalkan dampak setelahnya.
Bagian itu mengerang semakin hari, menolak diberikan dosis yang sama berbulan-bulan lamanya. Tapi ada bagian lain dalam dirinya yang terus memaksakan diri untuk tetap dalam zona itu karena apabila dia menyerah, maka ada satu bagian dari insan lain yang akan gugur dan bagian-itu tentu tidak akan berdamai dengan keguguran yang diakibatkanya.
Sering sekali rasanya ingin menghardik bagian itu.. bagian penentu kehidupan dan bila dia bermalas-malasan untuk berdegub, semua akan terhenti, semuanya. Mengapa terlalu mudah menyerah? Mengapa rasanya terlalu ringkih untuk menanggung dosis itu lebih lama lagi? Apa tidak terpikirkan apabila bagian lain adalah kepemilikanmu? Mengapa begitu sulit untuk bertahan lebih lama lagi?
Saat semua getir ini mendepakku pada keyakinanku, bagian ini menangis sambil erseok-seok menghampiriku.

Untuk kamu pemilik keseluranku ini,
Sungguh aku ingin menemanimu untuk berjuang, sungguh aku ingin bertahan jauh lebih lama lagi, sungguh aku ingin semua ini berjalan dengan idealnya, tapi maafkan aku yang terlalu rapuh untuk menahan dosis yang diberikannya padaku. Detik ini, aku menyerah Nona, dosisnya terlalu menyakitkan setelah kerja keras yang kulakukan dan tetap dosis itu yang kudapati, aku lelah dengan semua perlakuan yang terlalu ideal tanpa kualitas kuantitas yang dipadankan terhadap itu. Apakah Nona tau? Hampir seluruh kepunyaanku telah dia renggut dan haruskah aku tetap bertahan dengan prilaku yang seperti ini? Izinkan aku melangkah mundur perlahan untuk memperbaiki apa yang telah diperbuatnya dengan dosis yang diberikannya padaku. Seakan dia amnesia akan bagaimana cara memperjuangkan apa yang telah dia dapatkan dengan susah payah, atau dua kata terakhir tidak pernah ada dalam perjalanannya? Bisa jadi begitu bukan? Maaf untuk keegoisanku ini. Tapi aku tidak cukup tegar melihat bulir-bulir kehidupan berjatuhan dengan megahnya dari indera Nona. Bisakah Nona perlakukan apa yang Nona miliki sebaik mungkin? Tolong..

Balasan Nona untuk bagian itu,
“ Nona ini sangat memperdulikan insan ini wahai bagian-itu, jika menjadi masa bodoh atas keseluruhanku itu satu jalan membuat insan itu bahagia. Sungguh.. akan aku lakukan. Maaf karena mengecewakanmu, tapi aku terlalu takut melihat guguran tersebut dari dirinya. Apa tidak bisa kita berjuang dengan keras barang sekali lagi? Lalu berdamai dengan keadaan bahwa dosis itu harus kita anggap menjadi takaran terbaik untukmu? Maaf.. tapi aku tidak ingin menjadi egois terlebih pada insan ini. Meski pada keseluruhanku sendiri aku menjadi bagian ter-tidak-peduli. Bisakah aku ini diberi maaf?”



Saturday, September 6, 2014

Eksistensi Hujan dan Semi akan Bumi



(dari salah satu Penghuni Bumi-ku)

Hari ini aku terbangun dengan senduku, walau matahari sudah menyapaku dengan kehangatannya (seperti biasa). Dibangunku kali ini aku seketika saja termenung.. Apa yang ku mimpikan tadi malam? Mimpi akan suatu kaderisasi jurusanku yang masih fana dalam nyataku, sdangkan kabar teman-temanku? Mereka sudah berhimpunan. Kapan giliranku tiba?
Tapi bukan disitu poin entry-ku kali ini. Entry-ku kali ini masih tentang siapa yang kukira akan menetap tapi nyatanya hanya berkunjung. Sudah banyak isu-isu miring tentangku diluar sana yang katanya tidak bisa mengambil keputusan dan suka bermain-main. Lalu mengapa aku harus repot-repot menanggapi mereka, jika mereka saja menolak untuk memahami ada apa dengan kisah silamku. Masih tentang dia yang silam..yang membuatku takut mengambil keputusan.
Dia yang ku kira akan menetap, akhir-akhir ini menjadi mulai fana untuk aku deskripsikan. Dia sering lenyap dari peredarannya di bumi-ku bahkan tanpa pamit terlebih dahulu.. sebut saja dia hujan. Aku sering sekali termanggu olehnya karena tingkahnya yang tak tertebak, terutama hasratnya untuk mengguyur bumi-ku, rasanya dia tak peduli akan kekeringan yang bumi-ku alami. Sering sekali aku menolak kata hati penghuni bumi-ku bahwa mereka berharap hujan untuk tetap tinggal agar mereka sejahtera, jujur saja aku masih terlalu enggan untuk berikatan dengan unsur manapun tapi penghuni bumi-ku mulai melemahkanku. Haha nyatanya satu unsur ini tidak cukup untuk membuat kebahagian ingin bersua dengan bumi-ku. Hujan menolak aku mentah-mentah (ini pikiranku), bahkan dikekeringan yang menyengsarakan penghuni bumi-ku dia hilang raib bah ditelan Bima Sakti. Dia menolak menemui bumi-ku lagi saat penghuni bumi-ku mengelu-elukan namanya. Jujur saja aku sakit karenanya.. dan itu membuat ozonku mulai berlubang bukankah dia handal dalam melakukannya? oh mungkin saja salah satu kandungan hujannya adalah zat asam? Atau dia sijahat ­Freon? Entahlah kini urusanku adalah mengobati penghuni bumi-ku.
Disela kesendirian mengurusi bumi-ku, ada Sang Semi yang menyerukan namaku, menyapa dan kurasa dia berniat membantu bumi-ku. Lalu dengan rasa yang masih saja bermuram durja karena kehilangan, kuizinkan saja semi membantuku tanpa pikir panjang. Dia datang.. sesekali membuat bumi-ku kembali berwarna, ada bagian yang bermekaran karenanya tapi ada saja yang masih layu karena menolak keberadaannya. Semi itu bias menurut para penghuni bumi-ku entah maksud apa yang tersirat dari kebiasan ini. Tapi yang terpenting bumi-ku sedikt membaik.

Lagi-lagi sebagian penghuni bumi-ku menyerukan hujan yang rasanya menolak untuk kembali, semakin banyak seruan itu mengusikku semakin banyak lubang ozon yang lahir ke Bima Sakti ini. Letih sekali aku menunggu, hingga rasanya aku sempat menyapa satu kedudukan dalam rotasiku untuk menghapus sejarah tentang hujan di Bumi-ku ini. Tapi bukan berarti aku tak mengizinkannya berkunjung kembali, aku izinkan tentunya tapi dengan aku yang baru untuknya (khusus untuknya).
Semi selalu berusaha membuat bunga bermekaran di bumi-ku, membuat para penghuni tertawa renyah kegirangan karenanya, tapi entah kenapa itu belum cukup untukku. Tak kudapati arti ketulusan dan kesungguhan yang benar adanya dalam dirinya. Entah mengapa..
Semuanya bias, sebias apa yang aku inginkan sesungguhnya, meski aku mulai berpikir untuk merelakan hujan lenyap dengan sempurnanya ada saja penghuni bumi-ku yang ingin meyakinkanku bahwa hujan akan kembali menyuburkan bumi-ku. Aku lelah.. lelah menanti hujan yang terlalu takut untuk mengambil langkah. Mengambil langkah untuk menetap atau pergi merantau ke galaksi lain. Jika aku, semi, dan hujan adalah manusia-manusia penghuni bumi. Aku ingin sekali berujar seperti ini:
“ Kenapa selalu ragu untuk melangkah hujan? Kenapa selalu senang mengacuhkanku, aku tidak suka diperlakukan seperti itu dan aku tidak suka terus menantimu yang terlalu bias untuk dinanti. Aku letih menanti seseorang yang enggan melangkah. Aku kali ini akan mengambil persimpangan itu hujan dan jangan ikuti aku, pilihlah jalanmu sendiri toh jika kita ditakdirkan untuk saling mempertemukan satu sama lain, jalan aku dan kamu akan saling bersimpangan walau itu hanya untuk menyapa satu sama lain atu mengikat janji untuk bertemu lagi.”
Untuk Semi yang baik hati:
“ Hai, kembali lagi rupanya? Apakabar? Masih sama seperti dulu bukan? Selalu baik hati menemani semua bualan tak beresensi dari gadis Geodet ini tapi terimakasih untuk selalu menenangkanku saat tak ada lagi pundak yang bisa kupinjam. Aku dan kamu selalu semu adanya bias karena semua menolak untuk melangkah lebih. Iya kamu, manusia peragu yang entah sampai kapan akan selalu meragu dalam diam. Akan kau bawa kemana alur cerita ini? Apakah masih berkenan untuk aku bantu mengarahkannya? Hm, terimakasih banyak untuk kamu dariku”

P.S: I wish you read my entry, especially this one. Yes you..I wish you find my blog and finally you know what was I feeling when created this entry. Thanks