Percakapan Ibukota
Malam ini, cuaca kota ini terasa
lebih panas dan tak lupa sang pengap selalu siap duduk berdampingan dengannya. Rasanya
langit jungkir balik disini karena kerlip yang kulihat bukan saat aku
mendongakkan kepalaku melainkan saat aku menundukannya. Selain itu..
bintang-bintang itu sesekali mengeluarkan suara bising dan memiliki konstelasi
berundak yang riskan sekali dijelaskan dengan ilmu astronomis dan satu hal
lagi, suara-suara itu.. hanya terdengar saat jam tertentu saja, seperti saat
manusia penghuni kota ini sedang menuju rumah masing-masing setelah berbuka
bersama. Konstelasi ini.. ganjil karena mereka saling berlomba untuk menjadi
yang terdekat denganku atau bahkan berusaha melebihiku. Ya apalah aku ini..
hanya gadis yang malu-malu mengintip untuk memperhatikan mereka semua dengan
berbekal jendela yang seperempat terbuka dan kursi merah yang tak bisa lagi ku rendahkan
ketinggiannya. Ah, itu sedikit menggangguku, membuatku harus membungkuk dalam
aktu yang lama, dalam waktu hingga alam sadarku kembali menapaki tanah tempat
aku duduk termanggu kali ini.
Apabila kalian
membayangkan aku berada di kubikel yang berukuran 1x1 m dengan komputer masih
menebar sinarnya melalui layar monitor 14”, kalian salah karena semua ruangan
di gedung ini bersekatkan kaca yang bisa memberi cukup privasi terlebih karena
saat ada mata yang ingin mengamati lebih, kaca ini bertugas untuk memburamkan
pandangan mata itu, bukan karena kaca yang digunakan memiliki kekuatan
supranatural namun karena material pembentuknya adalah butiran kaca semi kasar
plus motif spiral aneka ukuran untuk menghalangi pandangan. Dan aku cukup
diuntungkan karenanya, terimakasih Gedung bersimbol satu alphabet dengan 3
warna pembentuk.
---
Hai Bahagia silamku, apa kabar? Masih
nyaman rupanya menjadi buah halaman dari buku ketiga 365 hariku, ralat dua buku
365-ku dan satu buku 366-ku. Masih di zona yang sama rupanya, walau sesekali
menggesek zonaku hingga sesekali zona kita bisa dikatakan.. serupa diagram
Venn.
Dan apakabar kota metropolitan? Apakabar
kota penghenti kata ‘kita’untuk aku dan kamu, yap tentu kamu paham benar
mengapa aku berujar demikian? Tenang saja.. kali ini hippokampusku menolak
untuk diwawancara mengenai kenangan itu, jadi mari kita cari bahasan lain.
Lucu.. apa lagi-lagi ini hanya
kebetulan yang dengan sengaja Tuhan cipatakan untuk hambanya? Karena lagi-lagi
zona kita beririsan. Ini bukan tentang zona proyeksi yang diajarkan oleh Bu
Dina, bahwa aku dan kamu berada di Zona UTM 48 Selatan. Hmm, tapi tunggu hal
itu bisa dijadikan salah satu pembenaaran untuk sekarang karena aku dan kamu
lagi-lagi berada di kota yang sama. Kota yang selalu berdegup setiap detiknya,,
baik berdegup sendirian atau mengajak manusia-manusia yang tinggal didalamnya
untuk berdegup bersama dan kamu tahu? Aku salah satu manusia yang ikut
diajaknya berdegup saat tatapan sebegitu-tulus- itu mengamatiku sembari
tersenyum, dulu aku sering melihat ‘paket
komplit’ itu darimu bukan? Iya..
dulu sebelum angka 5 menjadi angka 6. Terkadang aku merindu, kau tahu? Tapi rasanya
salah jika aku ucapkan..namun, untuk memendam itu sudah jadi urusan aku dan
batinku bukan? Tak ada pihak yang bisa melarangku dan mendikteku jika hatiku
masih keukeuh enggan berpaling bukan? Walau sakit itu nyata, tapi selalu nyata
pula apabila mereka dapat menyentuh kemungkinan-kemungkinan untuk pulih. Namun..
bairkan itu menjadi urusan aku dan hatiku nanti.
---
Malam itu..
kamu membuatku paranoid mati-matian dan kamu harus tahu itu! Sangat-harus-tahu-itu.
Saat dimana aku harus berjalan fokus dan berdamai dengan jam di lengan kiriku
yang dengan acuhnya menampilkan 11 dan 12 tanpa peduli bahwa aku sepanik itu
meangkah tanpa teman. Dan saat langkahmu mulai mengimbangiku, tahukah kamu apa
yang tanganku lakukan? Menjaga barang kepemilikanku dan yang lainnya merogoh
kantung depan tempat pisau lipatku tersimpan dengan rapi, hingga suara itu
membuat leherku berputar 90 derajat bahkan kurang dari satu hitungan. Sampai rasanya
aku nyaris memutuskan leherku sendiri. Dan
selebihnya biar aku saja yang tahu, kamu sangat tidak diizinkan untuk
mengetahuinya. Tidak ada penawaran, ini sudah mencapai titik.
Terkadang aku merasa bodoh karena
sepilu apapun itu, masih ada bagian yang bisa teralihkan hanya dengan wangi
semu kamu yang tiba-tiba semerbak mengikatku dalam kamu, namun.. hati ini belum
mau menyentuh kemungkinan terikat lagi, atau bahkan menolak. Aku tak tahu
dimana probablitas terbesar yang ku ciduk. Namun.. pedihnya tanya yang tak bisa
terjawab selalu membuat rasa ini menjadi rasa semusim yang ku pikir hanya
berniat berkunjung.
Apa yang ditunggu dan hingga
kapan begini? Bukankah tidak bijak jika menunggu selamanya..
P.S: "and if you were not visiting this city, what would we be? I mean what would you and I be.."