Senandung Limitasi
Halo hari ini
izinkan aku bercerita boleh kah? Akhir-akhir ini keadaan disekitarku sedang
memburuk dan aku selalu merasa lingkungan memperngaruhi diriku, semua memburuk
dan diriku akan memburuk pula. Entah mengapa sampai saat ini diri ini belum
bisa menjadi seseorang yang independen, menentukan sendiri, dan tidak
tergoyahkan oleh lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Tapi tentunya itu akan
jadi bahan pelajaran untuk wanita yang sedang mengetik entry terbarunya ini,
agar kedepannya bisa menjadi orang yang digantungkan, tidak hanya bisanya Cuma menggantungkan
diri.
Boleh aku mulai
bercerita? Mengapa diam? Aku anggap diam kalian itu berarti boleh.
Pertama,
bolehkah aku bercerita masalah hati? Entah karena hal apa.. aku semakin meragu
adanya. Semakin fana saja apa yang diinginkan hati ini. Terkadang rasanya aku
tidak tahu harus bagaimana dan apa sebaiknya aku perlahan bergerak mundur? Mengapa
harus memudar jika memberikan warna lebih indah adanya? Tapi aku takut
terkadang.. apa dengan bertahan semua ini akan membuatku bahagia kelak? Atau lagi-lagi
akan disia-siakan? Sebenarnya aku sudah handal dalam menyembuhkan luka, tapi
ini, yang aku jalani sekarang, bukanlah hal main-main yang ku jalani dulu. Bukan
lagi kesenangan yang menjadi dasar hubungan ini. Aku teramat lelah dengan semua
yang telah terjadi silam. Mungkin karena hal itu, aku memasang standar tinggi
pada hubungan ini. Tapi yang kutuai hanya penolakan akan standar-standar yang
aku pasang sendiri. Dari situ aku belajar, bahwa mengalir lebih baik atau
keidealan tidak pernah nyata adanya. Selalu saja ada bagian yang mencoreng
keberadaannya bahkan kamu perancang keidealan itu bisa merusaknya.
Lalu apa
masalahnya kini? Masalah ku kini adalah.. merasa letih akan meyakini, merasa
letih akan berharap. Ketika insan lain terlalu nyaman dengan zonanya sendiri
dan menolak untuk mencicipi zona lainnya atau bahkan hanya untuk melirik dan
ada insan lain yang mulai letih untuk menyamai langkah si zona insan tersebut. Akulah
insan itu, aku mulai lelah mencicipi zona nyamannya. Memang salah jika aku
mengharapkan balasan untuk dia melakukan hal yang sama denganku. Hari demi hari
terus menyapaku dan sesekali memberikan bingkisan cantik tentang indahnya
keseimbangan. Terkadang aku iri, ketika mereka yang lain bercerita tentang
tambatan hati. Tentang meraka yang diyakinkan pada hubungan mereka.
Sering sekali
saat kesendirian menyapaku, saat hanya ada suara lantunan lagu dari laptopku, angin
yang bergurau dengan rerumputan bergemersik ditelinga, dan matahari yang tetap
menjaga jarak aman denganku.. aku berpikir, harusnya aku bersyukur dia tidak
mempertemukanku dengan mereka. Memang seyakin apa hubungan ini akan berhasil
wahai Nona? Melepaaskan jauh lebih mudah kelak jika tanpa kehadiran mereka. Jangan
mengikatkan dua hal yang lebih rumit didalamnya, ketika hatimu belum yakin
dengan dia sang pendatang yang meminta dirimu berjalan beriringan dengannya.
Jangan anggap
dia tidak berusaha membahagiakanku, dia selalu melakukannya, aku selalu bahagia
awalnya dan sangat menyukai apapun yang dia lakukan bersamaku. Tetapi apakah
dia tahu? Sesuatu yang dilakukan berulang dengan pola yang sama dan jangka
waktu yang lama membuat semua tidak terasa seperti bagaimana semula itu terasa.
Bukankah aku egois? Hanya memintanya berusaha lebih dan tidak memperbaiki diri?
Apa mauku? Pasti sebagian darimu berkata demikian?
Aku berjuang..
sungguh aku berjuang meyakinkan diriku bahwa dia pantas diperjuangkan, memberi
stimulus pada diriku bahwa aku mungkin harus bertahan lebih lama, bukankah aku
menyayanginya? Bukankah bulan-bulan sebelumnya aku bisa menyembuhkan
keletihanku ini sendiri? Mengapa kali ini aku menjadi payah? Bukan.. bukan
seperti itu. Tapi apapun yang kulakukan berulang-ulang dengan pola yang samapun
akan membuatku kebal karenanya. Oh Tuhan.. maafkan aku atas ini. Mungkin aku
butuh waktu. Aku letih memanggu dungu dan menungguinya hingga mengetuk zonaku. Atau
harus kuajak dia masuk? Tapi aku mau dia nyaman dengan sendirinya, Tuhan.. apa
aku salah jika melakukan ini? Entah rasanya ini seperti cerita roman super
berlebihan bukan?
Kedua,
rutinitasku banyak sekali yang berubah, sungguh. Aku yang dulu bisa dikatakan
apatis dan sedikit masa bodo dengan kehidupan berorganisasi sekarang disentil
dengan tanggung jawabku sebagai salah satu hal krusial di acara yang merupakan
acara bersejarah bagi masing-masing insan yang akhirnya merampungkan Strata
satu mereka. Yap aku tahu kamu paham apa hal itu. Kadang aku letih menganalisis
apa yang harus aku lakukan. Meski dengan ini mataku dan pikiranku semakin
terbuka, bahwa apa yang kita lihat diluar belum tentu sama di dalam. Semua yang
kita lihat pasti atas dasar pemikiran yang memeras otak, hati yang berkali-kali
mengucap istigfar,dan asa yang berkali-kali meyakinkan diri bahwa tugas ini
bisa dirampungkan. Hal pertama yang terjadi saat pekerjaanku tidak begitu
disetujui dan memintaku kembali merubahnya dari awal adalah.. sakit dan rasanya
ingin aku memaki. Tapi untuk apa? Tidak akan menyelesaikan masalah bukan? Tapi tetap
kulakukan, aku memaki.. memaki diriku sendiri yang tidak cermat dalam pemlihan
dan pengerjaan setiap detailnya. Bahkan itu bukan detail itu dasar dimana
fondasi akan dipijakan. Dari situlah aku memahami, setiap pekerjaan bukan
bertujuan hanya untuk dirampungkan.. tetapi untuk dipahami apa yang kita dapat
dari pekerjaan itu kelak. Itulah pembentukan pola pikir himpunanku atau lebih tepatnya
ikatanku. Menekanku dengan standar tinggi hingga memaksaku keluar dari
limitasiku sendiri, mengapa harus memaksa? Karena itu memakan waktu lebih cepat
dan memecut kesadaran dan kepekaanmu lebih dari metode lain. Aku tidak menolak
sungguh, aku malah menjadi senang menonton karenanya. Kalian bingung? Iya aku
jadi senang menonton semua probabilitas dan hal yang harus dicermati dari
setiap detail yang aku ambil. Setiap hal datang untuk memberikanku pelajaran,
yang berbeda adalah bagaimana cara mereka memaparkan pelajaran tersebut. Apakah
dengan membuatku sakit hingga membekas dikepala atau bermanis-manis agar aku
semangat. Menjadi objektif adalah hal
yang ku genggam kali ini, tidak erat-erat tentunnya aku tidak mau ada
insan yang tersakiti karena kekukuhanku akan penilaianku, hanya memastikannya
tetap ditangan.
Keluhanku kali
ini, tidak semua paham hal tersebut, tidak semua memiliki prioritas yang sama,
dan terkadang semua membebaniku.. aku terkadang letih memahami semua sendirian,
aku letih kebingungan sendirian, dan kadang aku letih meminta bantuan pada
mereka-dan-prioritas-berbeda-mereka, hingga aku berpikir apa aku sja yang lahap
ini semua? Tapi aku tidak ingin serakah akan ilmu. Jika aku belum mampu memberi
hal yang lebih berharga pada mereka, ilmulah yang bisa kita pelajari
bersama-sama yang bisa aku berikan.
Aku hanya ingin
berusaha semaksimal yang bisa aku lakukan, aku hanya ingin selalu ada saat
orang-orang membutuhkan karena hal itu menenangkan. Tapi entah dasar manusia..
aku juga ingin mereka melakukan hal yang sama untukku. Tapi terkdang saat aku
menoleh hanya ada udara malam yang menyapa. Rasanya aku harus becermin, mungkin
aku tidak benar-benar disana saat mereka butuh, hingga yang kudapatpun mereka
tak benar-benar ada saat aku jatuh, karena aku yakin apa yang aku tuai adalah
apa yang aku tanam dimasa silam.
Ketiga, rasanya
kami semakin menjauh.. iya aku dan satu insan Tuhan dengan hubungan darah
antara kami. Dia semakin menolak didekati dan aku semakin lama semakin menolak
memahami. Entah, rasanya semakin asing.. semakin memudar. Bukankah hal itu
tidak boleh terjadi? Tapi entahlah..
Rasanya senandung
limitasiku sedang mencapai puncak kekuasaan atas insan ini.. ya atas diriku. Dan
aku sedang tidak berminat memperbaiki keadaan. Bolehkah aku mengomandokan hal
ini pada lingkungan sekitar? Agar dia mengembalikan semua ini dan mengizinkan
aku pulang.. aku ingin pulang dan disambut oleh matahari yang berpamitan pulang
untuk menemui lautan. Berpamitan dengan si jingga, lalu seruan menggoda tanpa
suara dari hot dark-chocolate. Si pahit dan
manis yang dengan adilnya membagi peran kemunculan, seperti hidup yang
terkadang pahit dan manis. Lalu yang terakhir keanggunan kelembutan kapas yang
bersama-sama menghilangkan rasa sakit saat bagian pelindung tulang ekor ini
menolak berdiri lama-lama dan ingin bergerlung bersamanya.
Izinkan aku menyapa zona tempatku bergerlung hei kamu
senandung-limitasi.